|  | 
| Tanpa menyebut lokasi, inilah rumah berhantu yang menggembleng mental saya dalam menghadapi hantu | 
Saya percaya, bahwa manusia berbagi tempat dengan makhluk tak kasat  mata. Saya percaya, bahwa hantu atau jin ada dimana-mana. Di rumah, di  jalan, di sekolah, di kantor, di pasar, bahkan di masjid. Ketika ada  teman yang membantah karena takut atau tidak percaya, saya kembalikan  kepada opini masing-masing. Yang jelas, mereka ada dan nyata. Jika tidak  dapat melihatnya, tak perlu merasa takut karena itu terkait dengan  keterbakatan saja. Jadi jika tak punya bakat melihat hantu atau jin,  berhentilah takut, apalagi memikirkan keberadaan mereka. Jalani hidup  dengan bahagia dan mengingat mereka hanya sebagai mitos atau urban legend, tetapi jangan mengingkari keberadaan mereka. Saya berani beropini seperti ini karena saya dan suami beberapa tahun ini hidup di rumah yang berhantu.
8 tahun lalu kami sekeluarga pernah berstatus sebagai pengontrak rumah.  Tanpa kami sadari, rumah yang kami kontrak itu termasuk angker.  Baiklah.... bodohnya kami. Ada sebuah rumah yang dikontrakkan senilai  500 ribu pertahun (8 tahun lalu) dan kami mengambilnya. Suami hidup  nyaman karena ia tidak berbakat melihat hantu (sampai sekarang), tetapi  saya mendapat edisi khusus inagurasi hantu. Sesosok kakek bersorban  putih datang mengunjungi saya. Tak ada kata-kata, tentu saja. Tak parah,  karena kebiasaan saya jika pindah rumah adalah membuat khajatan kecil  dengan tetangga baru agar dapat memperkenalkan diri. Si sulung Destin  mempunyai bakat melihat hantu dan ia diganggu nenek-nenek bungkuk. Saya  dan suami segera mencari cara menutup bakat yang satu ini. Saya pernah  menjalani ritualnya membuang bakat anak melihat hantu. Well... tidak  bisa disebut ritual, karena bentuknya dzikir dan bacaan alqur'an  tertentu sambil mengelus-elus badan anak, melangkahinya, dan aah.. saya  lupa tepatnya. Tak ada bunga atau kemenyan. Murni dzikir tertentu dengan  jumlah tertentu dan bacaan surat Al qur'an tertentu dengan jumlah  tertentu. Hasilnya memang si sulung tak lagi bisa melihat hantu. Kami  bertahan di rumah kontrakan itu selama 1 tahun. Dan si bungsu lahir di  rumah kontrakan ini. Ari-arinya masih saya tinggal di rumah ini dengan  harapan, kelak saya dapat membeli rumah ini nantinya.
Tahun selanjutnya, kami mengontrak sebuah rumah luas sekaligus workshop.  Sekali lagi kami merasa sangat beruntung. Rumah workshop besar bernilai  sewa 20 juta pertahun saya dapatkan dengan nilai 18 juta per dua tahun.  Rumah ini muat menampung mebel sebanyak 2,5 kontiner. Di sebelahnya  sebuah masjid. Dan...rumah ini sangat-sangat berhantu. Melihat sosok  mirip suami berkelebat di depan mata sudah biasa. Mendengar suara ribut  (oarng bicara atau berlarian) di kamar tidur ketika kami di ruang tengah  juga sangat-sangat biasa.  Bahkan benda bergerak sendiri juga hampir  setiap tengah malam. Kabarnya, di rumah ini ada makam bayi yang belum  sempat lahir. Uniknya, sesosok wanita berpakaian keraton warna merah  pernah muncul dari dalam lemari pakaian saya. Hanya satu kali saja, dan  konfirmasi saya dapatkan ketika ada tetangga rumah yang bercerita pada  suami tentang wanita berbaju merah yang menempati rumah itu. 
Uniknya, di rumah ini, suami yang tidak memiliki bakat melihat hantu,  ikut merasakan kehadiran makhluk tak kasat mata ini. Ia sering mendengar  suara tutup (gelas?) diputar dengan bunyi sreg... sreg... atau suara  pintu kaca yang digedor-gedor dari luar, suara cekikikan dari pavilyun  atas.... Ia tak pernah melihat, hanya mendengar saja. 
Di rumah ini ada 3 orang yang sering dijahili. Saya, suami dan seorang  sepupu yang merangkap sebagai pegawai.  Alkisah, maghrib tanggal 10 suro 1431, kami sekeluarga tertahan di rumah  teman ketika sedang bertamu. Hujan deras campur petir membuat kami  cemas akan nasib komputer di rumah yang saat itu sedang online. Rumah  itu beberapa kali terkena petir (setiap tahun petir menyambar ke tempat  yang sama - tiang telpon) dan sudah 3 x kami ganti komputer karena  tersambar petir. Suami menelpon sepupu saya agar mencabut line telpon ke  komputer saat itu juga. Perintah dilaksanakan. Ketika akan pulang,  listrik mati. Kalang kabut dan dengan penerangan lampu HP, sepupu saya  buru-buru mencari kunci motor. Ia mencari kunci selama 1 jam. Semua  sudut rumah dicari termasuk ke kolong-kolong meja. Ia membungkuk ke  kolong-kolong meja dan kursi, ke sudut-sudut terjauh belakang mebel  tempat ia meletakkan kunci meja. Dan tetap tidak ketemu. Ketika ia  jengkel dan berkata “Kembalikan kunciku!”, tahu-tahu sebuah kunci nempel  di bahunya (ia memakai kaos oblong). Ia segera berlari keluar dan tak  mau ke rumah itu sendirian lagi.  Hahahaha... ups... harusnya  Hihihihi... (Saya beberapa kali diisengi jadi geli saja mengetahui ada  yang bernasip sama). Pendek kata, di rumah workshop ini kami belajar  mengendalikan rasa takut. Sejak saat itulah, saya nyaman menonton film  horor dan mulai suka membuat review film-film horor. Karena di dunia  nyata, saya mengalaminya sendiri. Saya bertahan di rumah ini selama 4  tahun. Sungguh 4 tahun yang luar biasa. 
Rumah tinggal saya saat ini juga menjadi rumah singgah 3 jin yang kadang  datang menengok. Saya pernah melihat wujud mereka sebagaimana jin, dan  pernah melihat dalam wujud almarhum bapak saya. Reaksi saya? Reaksi  normal: takut dan cemas, tetapi tidak histeris. Karena saya tahu saya  tak bisa mengusir mereka. Ada sesuatu yang mengikat mereka di rumah ini  dan satu-satunya yang bisa mengusir mereka adalah almarhum bapak.  Katanya begitu. Saya pasrah saja. Toh rumah ini hanya menjadi semacam  rumah singgah seperti 2 rumah seram yang saya tempati sebelumnya. Saya  akan memiliki rumah saya sendiri kelak, jika saya berhasil mengumpulkan  uang lagi. Harapan itu tak pernah sirna. 
Kesimpulan cerita: meski saya beberapa kali melihat hantu/jin, si  sulung  juga begitu, tetapi suami dan si bungsu tak pernah melihat  mereka. Jikalau pernah, hanya berupa bau gosong yang spesifik seperti  bau ubi campur jagung dan nasi yang gosong menjadi arang. Itu deskripsi  yang dapat saya berikan berkaitan dengan tanda kehadiran jin di sekitar  kita – jika mampu merasakannya. Jika tidak? Kamu orang yang  sangat-sangat beruntung dan berhentilah takut akan hantu. Bagaimana?  Masih takut hantu atau jin? Gapapa... itu reaksi normal kok. Saya juga  masih takut pada mereka dan berharap ga bakal ada yang tiba-tiba muncul  di depan saya seperti kisah saya bertemu pocong di sebuah hotel dulu. Karena hantu yang paling saya takuti adalah hantu pocong (dan  saya pernah bertemu 2 kali! Halah! Mengingatnya masih membuat saya  merinding semua. 
Credit:Sumber
 
 
0 Response to "Cerita Seram - Rumah Berhantu"
Posting Komentar